Kasus Penyakit Raja Singa (Sifilis) Naik 70 Persen, Literasi Masyarakat Masih Rendah.
(Akses Sehat Indonesia),- Kita ketahui bersama bahwa Sifilis atau yang sering disebut dengan raja singa merupakan penyakit infeksi seksual yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat Indonesia. Pasalnya, terjadi trend peningkatan kasus yang signifikan khususnya di satu bulan terakhir dan di 5 tahun terakhir secara umum. Bagaimana tidak, di lansir dari data kemenkes RI pada tahun 2018 terdapat 12.484 kasus dan pada tahun 2022 terdapat penambahan kasus mencapai 20.783 kasus. Dengan demikian terjadi peningkatan sekitar 70 persen.
Penyakit sifilis sendiri disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang bisa menular melalui cairan tubuh seperti sperma, darah, dan cairan-cairan lainnya. Penularan sifilis sendiri bisa dikategorikan ke dalam 3 cara penularan yaitu melalui perilaku seks yang berisiko, transfusi darah, dan melalui orangtua ke anaknya (kehamilan dan menyusui).
Selain itu, tingginya angka penularan sifilis akhir-akhir ini berbanding terbalik dengan angka pengobatan yang masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi kesehatan masyarakat, utamanya tentang penyakit menular seksual. Selain itu, tingginya stigma di masyarakat tentang penyakit menular seksual, mengakibatkan pasien merasa malu dan enggan melakukan pemeriksaan dan pengobatan ke layanan kesehatan
Oleh karena itu, diperlukan literasi kesehatan masyarakat yang baik suapaya bisa meminimalisir angka penularan. Sebagaimana yang disampaikan oleh ketua yayasan Akses Sehat Indonesia Ibu Alwin Khafidhoh yang menyatakan bahwa “Sifilis adalah salah satu silent disease yang banyak kasusnya di Indonesia sebagaimana TB dan HIV. Diperlukan literasi kesehatan yang baik ke masyarakat agar bisa ditangani dan tidak menyebar,”.
Permasalahan tidak hanya terletak pada literasi kesehatan masyarakat yang masih rendah. Namun juga pada redahnya pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan.
“Sisanya ada 60 persen yang tidak mendapatkan pengobatan dan berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan,” ungkap dr. Syahril selaku juru bicara Kementerian Kesehatan RI dalam konferensi pers yang digelar Kemenkes secara daring, Senin (8/5/2023).
Sebagaimana disebutkan di atas, stigma negatif yang berkembang di masyarakat disinyalir menjadi salah satu penyebab rendahnya angka pengobatan ini. Dari sini kita harapkan adanya upaya serius dari pemerintah dalam mencegah peningkatan penularan penyakit ini ke tahap yang lebih parah.
“Pemerintah bisa mengembangkan silent health services untuk memberi layanan kesehatan dengan tetap menjaga privasi pasien,” tambah Ibu Alwin.
Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media sosial, layanan tersebut sangat mungkin dilakukan.
Di akhir kata Akses Sehat Indonesia terus berupaya dalam memberikan edukasi seputar kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik.